Konflik dengan Perusahaan Sawit, Warga Mengadu ke Komnas HAM

Severianus Endi
2016.08.02
Pontianak
160802_ID_palmoil_1000.jpg Warga Desa Olak-Olak Kubu, Kabupaten Kubu Raya, mengadu ke Kantor Komnas HAM Kalimantan Barat di Pontianak, 1 Agustus 2016
Severianus Endi/ BeritaBenar

Renawati (32) berurai air mata ketika bersaksi di hadapan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Kalimantan Barat (Kalbar) di Pontianak, Senin, 1 Agustus 2016.

Dia mengaku ketakutan saat melihat beberapa polisi mengepung rumahnya, Sabtu lalu, 30 Juli 2016.

“Orang bilang, polisi datang mencari suami saya. Mereka mengepung rumah. Saya lari menyelamatkan diri ke hutan,” ucap warga Desa Olak-Olak Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya itu.

Rasa takut membuat buruh tebas di sebuah perkebunan kelapa sawit itu melupakan anaknya berusia 16 tahun yang tertinggal di rumah. Sang anak kemudian diketahuinya telah mengungsi ke rumah neneknya.

Renawati bersembunyi di hutan hingga larut malam. Begitu suasana dirasakan tenang, dia mendatangi rumah ibunya. Keesokan paginya, Minggu, dia mengungsi ke Pontianak, yang berjarak 62 kilometer, untuk bergabung dengan sekitar 300 warga Olak-Olak Kubu lainnya. Mereka meninggalkan desa, setelah polisi menangkap dua warga dan menggeledah beberapa rumah.

Aksi protes

Sunarno, Kepala Seksi Kemasyarakatan Desa Olak-Olak Kubu, menyatakan, peristiwa ini bermula 23 Juli 2016, ketika sekitar 400 warga berunjuk rasa menduduki areal konsesi perkebunan sawit milik PT Sintang Raya.

Warga hendak mendirikan tenda, sambil menggelar yasinan dengan harapan ada unsur pemerintah datang membantu mediasi konflik lahan dengan perusahaan itu.

“Saat kami jalan kaki, puluhan polisi menghadang. Mereka minta kami bubar, tapi kami tak mau sehingga terjadi saling dorong. Seorang polisi sempat terjatuh. Kami dituduh melakukan pemukulan, padahal sama sekali tidak,” tutur Sunarno.

Dalam aksi itu, satu warga ditahan polisi. Dua hari kemudian, Katin (47), yang sedang sakit di rumahnya ditangkap polisi. Ada yang merekam penangkapan itu dengan video yang sekarang menyebar secara viral melalui media sosial.

“Cara penangkapannya kurang wajar, seperti menangkap teroris saja,” tambah Sunarno.

Purwaningsih, istri Katin, mengatakan suaminya ditangkap karena dituduh mengeroyok karyawan perusahaan (PT Sintang Raya) ketika unjuk rasa, Februari lalu.

“Kami mohon waktu untuk berobat karena dia sedang sakit, tapi tidak ditanggapi. Suami saya ditangkap di depan anak,” tuturnya.

Musri (50) seorang tokoh masyarakat Olak-Olak, memaparkan, 24 Februari 2016, warga pernah melakukan aksi untuk menuntut hak atas tanah mereka di areal PT Sintang Raya. Beberapa kali mediasi dilakukan pemerintah, tidak membuahkan hasil.

“Kami minta semua polisi yang banyak berkeliaran di kampung kami ditarik, agar tak membuat resah. Kami juga minta penyelesaian konflik lahan dengan perusahaan,” ujarnya.

Polisi membantah

Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi SW, ketika dikonfirmasi membantah informasi ada sweeping di desa. Dia menegaskan, polisi berada di lokasi untuk mencegah konflik antarwarga.

“Ngapain polisi menyandera seseorang. Polisi aparatur negara yang diberi kewenangan memeriksa orang, barang, surat menyurat, dan bahkan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang patut diduga melakukan kejahatan,” katanya.

Harlen Sitorus, Bagian Legal PT Sintang Raya menuding aksi warga digerakkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dianggapnya “provokator”. Terkait lahan, katanya, pada September 2011 ada gugatan warga untuk pencabutan seluruh areal Hak Guna Usaha PT Sintang Raya seluas 11.129,9 hektar.

Gugatan yang berlanjut hingga kasasi di Mahkamah Agung menghasilkan putusan agar PT Sintang Raya mengeluarkan 5 hektare lahan warga dari areal konsesi.

“Lahan yang harus kami keluarkan dari konsesi hanya 5 hektare, bukan seluruh konsesi kami, seperti anggapan masyarakat,” kata Harlen.

Setelah menerima pengaduan warga, Kepala Komnas HAM Kalbar, Kasful Anwar, segera berkoordinasi dengan Polda. Dari hasil koordinasi itu, Polda menjamin hak warga atas rasa aman untuk kembali ke kampungnya.

“Saya berikan nomer telepon saya kepada mereka (warga), agar sewaktu-waktu jika ternyata masih ada intimidasi, penangkapan dan sweeping, saya minta segera kontak saya agar kami bisa segera melakukan koordinasi," kata Kasful kepada BeritaBenar.

‘Cerita lama’

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Anton P. Wijaya, menuturkan, konflik lahan adalah "cerita lama" di provinsi itu. Menurut Walhi, sepanjang tahun 2014, terjadi 82 konflik lahan. Kemudian pada 2015 tercatat 97 kasus, dan semester pertama 2016 ada 40-an konflik.

"Data kami mungkin berbeda dengan instansi lain. Latar belakang bermacam-macam. Tetapi yang ekskalasi konfliknya cukup meluas, baru yang terjadi di Olak-Olak Kubu," jelasnya.

Menurut nya, penyebab konflik terbanyak akibat pencaplokan lahan budidaya warga untuk dikonversi menjadi areal konsesi. Selain itu, pengambilalihan lahan tanpa komunikasi memadai dengan warga dan ganti rugi lahan yang tidak tuntas.

Selain konflik lahan, masalah yang juga selalu timbul berkaitan dengan lahan konsesi di Indonesia termasuk Kalimantan adalah masalah kebakaran hutan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari 12 provinsi di Indonesia yang mengalami kebakaran hutan pada 2015, Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi dengan luas lahan terbakar cukup signifikan yaitu seluas 900,20 ha. Dilaporkan pembukaan lahan dengan pembakaran untuk tanaman industri seperti sawit, ikut menyebabkan bencana menahun kebakaran hutan dan kabut asap di Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.