Simpatisan ISIS Pembunuh Polisi di Sumut Terancam Hukuman Mati
2018.01.29
Jakarta

Syawaluddin Pakpahan (43), seorang simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang didakwa membunuh seorang polisi dan membakar pos pengamanan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Sumatera Utara (Sumut) terancam hukuman mati.
Kemungkinan hukuman itu terbuka setelah jaksa mendakwa Syawaluddin melanggar Pasal 15 juncto 6 atau Pasal 15 juncto 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang penggunaan kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang lain secara meluas atau menimbulkan korban secara massal atau mengakibatkan kerusakan terhadap obyek vital yang strategis.
"Terdakwa menusuk personel kepolisian di bagian dada berkali-kali dan menggorok lehernya," terang jaksa Dwi Hadi Purnomo dalam persidangan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 29 Januari 2018.
"Sehingga perbuatan terdakwa mengakibatkan matinya seorang anggota polisi yang sedang berjaga dan merusak pos polisi di Mapolda Sumatera Utara."
Anggota polisi yang tewas bernama Martua Sigalingging. Ia ditemukan meninggal dunia dengan sejumlah luka tusukan di leher, dada, tangan, serta luka bakar.
Penyerangan ke Mapolda Sumut dilakukan Syawaluddin bersama seorang rekannya, Ardial alias Bewe, pada dini hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, Minggu, 25 Juni 2017.
Ardial tewas ditembak aparat kepolisian yang mengetahui aksi mereka.
Sepanjang persidangan, Syawaluddin tak membantah telah melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap seorang polisi.
Saat majelis hakim memperlihatkan foto-foto lokasi bekas kejadian, ia menukas singkat, "Benar, ini saya."
Pun tatkala diperlihatkan sejumlah alat bukti, seperti pisau yang dipakai untuk menikam Martua, Syawaluddin lagi-lagi menjawab, "Benar, punya saya."
"Beli, Pak," ujarnya lagi kepada majelis hakim, saat ditanya muasal pisau yang digunakan untuk menyerang korban.
Ketika BeritaBenar menanyakan kemungkinan penyesalannya karena telah melakukan pembunuhan, Syawaluddin hanya bungkam dan tersenyum saat berulang kali ditanya.
Asludin, selaku kuasa hukum Syawaluddin, juga enggan berkomentar lebih lanjut atas potensi hukuman mati untuk kliennya.
"Tergantung nanti bagaimana hakim bisa membuktikan bahwa ada rasa takut massal yang muncul terkait aksi terdakwa saja," katanya seusai persidangan.
Dipicu kasus Ahok
Merujuk pada berkas dakwaan, penyerangan Syawaluddin ke Mapolda Sumatera Utara sejatinya bertujuan untuk merampas senjata api yang nantinya dipakai untuk amaliyah, istilah kelompok teroris untuk aksi teror-- dengan sasaran warga keturunan Tionghoa di Sumut.
Rencana penyerangan warga keturunan Tionghoa tersebut menyusul mencuatnya kasus penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, pada penghujung 2016.
"Itu (kasus Ahok) menimbulkan keinginan terdakwa untuk melaksanakan amaliyah terhadap keturunan Tionghoa," lanjut jaksa dalam dakwaannya.
Untuk merealisasikan aksi perampasan senjata, Syawaluddin mengajak dua rekannya yang bernama Firmansyah Putra Yudi dan Hendri Pratama menyurvei Mapolda Sumut. Survei dilakukan untuk mengetahui jenis senjata dan perilaku aparat keamanan yang berjaga.
Keduanya belakangan menolak terlibat aksi perampasan senjata, hingga kemudian terdakwa beralih mengajak Ardial alias Bewe.
Atas keterlibatan ini, Firmansyah dan Hendri Pratama kini turut menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan terancam hukuman 20 tahun penjara atas dugaan melakukan pemufakatan jahat dalam tindak pidana terorisme.
Bersama Ardial alias Bewe, Syawaluddin kemudian menyurvei ulang Mapolda Sumut. Mereka pun menyusun aksi, salah satunya dengan membuat denah Mapolda.
"Dengan denah itu dijelaskan cara masuk ke pos penjagaan Polda. Apabila ketahuan langsung menyerang bersama, minimal harus mendapatkan satu pucuk senjata api," pungkas jaksa Dwi.
Pernah bertempur di Suriah
Menurut pengamat Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi Adhe Bhakti, Syawaluddin adalah mantan anggota Free Syrian Army (FSA) yang pernah bertempur di Suriah pada 2013.
Ia berperang melawan tentara pemerintah Suriah pimpinan Bashar Assad selama sekitar enam bulan, sampai akhirnya kembali ke Indonesia.
“Returnee pertama yang ‘main’, ya, dia," kata Adhe Bhakti kepada BeritaBenar.
Namun saat bertempur di Suriah, tambah Adhe, Syawaluddin tidak tergabung dengan ISIS kendati sempat berinteraksi dengan anggota-anggota kelompok tersebut. Ia baru menyatakan kesetiaan kepada ISIS setelah pulang ke Indonesia.
"Tapi itu juga tidak terafiliasi dengan pimpinan ISIS Indonesia seperti kelompok Aman Abdurahman," tambah Adhe, "Ia punya kelompok kecil sendiri."