In'am Amin, Menginspirasi Mantan Napiter Lewat Ngopi
2018.06.18
Yogyakarta

Perlahan Muhammad In’am Amin menyeruput kopi hitamnya. Dia bercerita awal berdiri kafe yang memiliki tagline “ngopi yang sebenar-benarnya”.
“Usaha saya jatuh ketika Amrozi ditangkap (tahun 2002). Lalu, saya dirikan warung kopi ini,” kenang In’am kepada BeritaBenar di Kopi Gandroeng, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Amrozi adalah salah seorang pelaku bom Bali I tahun 2002, yang menewaskan lebih 200 orang. Bersama dua saudaranya Ali Imron, Ali Ghufron alias Mukhlas, Amrozi dieksekusi mati pada November 2008.
In’am adalah pengusaha konstruksi yang sukses. Tetapi kedekatannya dengan Amrozi cs, memunculkan kecurigaan publik jika In’am berperan sebagai penyandang dana bagi pelaku bom Bali.
“Saya memang dekat dengan mereka. Salah satu anak Amrozi bahkan ikut saya waktu Amrozi ditahan, tetapi saya tidak memiliki keterlibatan apapun dengan apa yang mereka lakukan. Saya kenal karena kami bertetangga di Lamongan dan teman sejak kecil,” tutur In’am.
Meski hanya sebatas dugaan, tapi isu dia terlibat dalam bom Bali berdampak buruk pada bisnisnya yang memang mengandalkan kepercayaan.
Ditengah usahanya untuk bangkit, dia mendapat kabar mengejutkan. Wildan Mukhollad, adik bungsunya yang kuliah di Universitas Al Azhar, Mesir, tewas dalam aksi bunuh diri di Irak pada Februari 2014.
“Rasanya tidak percaya, saya memang sudah curiga dia menjadi teroris tetapi saya tidak pernah mengira akan sejauh itu (menjadi pembom bunuh diri),” ujar In’am.
Ketika adiknya tiba-tiba berhenti berkomunikasi dengannya dan keluarga tahun kedua di Mesir, In’am sudah mulai curiga.
Tetapi In’am mengaku tidak berdaya karena sama sekali tak tahu di mana adiknya. Saat akhirnya Wildan kembali melakukan komunikasi, itupun hanya berjalan satu arah.
“Pahit dan sedih kalau ingat, seperti mimpi buruk dan itu membuat saya menjadi seperti sekarang ini, bermitra dengan polisi dan melakukan berbagai pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mengajak napi terpidana teroris kembali ke masyarakat,” terangnya.
In’am pun pindah dan menetap di Yogyakarta. Ia membuka warung yang diberi nama Gandroeng Kopi tahun 2015. Usahanya maju pesat dan kini sudah memiliki 20-an karyawan.
Warung kopinya menjadi sarana memotivasi para mantan narapidana teroris (napiter) untuk “berjihad” dengan jalan yang berbeda.
“Mereka harus dialihkan, diganti pergaulannya. Warung kopi menjadi sarana pergaulan yang bagus, bertemu banyak orang yang berbeda, tidak melulu orang dari jaringannya,” ujar In’am.
Pendekatan rasa
Warung In’am itu seakan menjadi tempat asyik bagi para mantan napiter untuk sekadar berkunjung atau belajar meracik kopi.
Mereka selalu menyempatkan diri mampir ke Waroeng Kopi Gandroeng apabila sedang berkunjung ke Yogyakarta.
Sambutan hangat selalu diberikan In’am setiap kali ada napiter yang berkunjung meski seringkali datang mendadak.
“Biasanya mereka kasih kabar dulu, tetapi ada juga yang langsung datang dan kalau saya sedang tidak di luar kota, saya pasti temui dan temani ngobrol, juga ajari kalau mereka ingin coba bikin minuman kopi,” terang In’am.
Syaiful Arif alias Ipul salah satunya. Bekas napi konflik Ambon dan Poso bahkan terpikir untuk membuka warung kopi seperti In’am.
“Mungkin tidak sebesar miliknya, karena saya tak punya banyak modal, kecil saja seperti warkop pada umumnya,” tutur Ipul yang saat ini bekerja di bidang konstruksi bangunan di Lamongan, Jawa Timur.
Ipul mengaku menemukan keasyikan tersendiri setiap kali ngopi. Selain memang sangat menyukai kopi, obrolan dan keakraban yang terjalin antara para pendatang warung kopi membuatnya merasa diterima.
Ipul pun diajari In’am cara meracik minuman kopinya sendiri.
“Dasarnya saya suka kopi, saya langsung bisa menangkap teknik-teknik yang diajarkan waktu itu, saya sudah bisa bikin minuman kopi enak,” Ipul menuturkan dengan bangga.
Ipul ditangkap pada 2003 dan menjalani hukuman 6 tahun penjara. Terbiasa membaca situasi lapangan karena pernah jadi komandan militan, Ipul mengaku tidak mengalami kesulitan untuk berbaur kembali dengan masyarakat.
Hanya saja setelah menjalani masa hukuman, Ipul mengaku masih sulit menerima orang-orang yang berbeda dengan prinsip yang diyakininya.
Tetapi berkat pendekatan yang dilakukan oleh In’am dan Ali Fauzi, mantan pelaku bom Bali yang juga pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian – organisasi yang membimbing mantan teroris untuk meninggalkan paham radikal mereka, Ipul menjadi lebih lunak.
Pada perayaan 17 Agustus 2017 lalu, Ipul bahkan bersedia untuk ikut upacara bendera dan menjadi salah satu pengibar benderanya.
‘Beri kail, bukan uang’
In’am yang banyak mendengar segala permasalahan yang dikeluhkan para mantan napi teroris tentu tahu bahwa uang menjadi salah satu persoalan ketika mereka bebas, selain penerimaan masyarakat.
“Mereka tentu saja butuh uang, tapi kita tidak kemudian memberikan uang seperti yang mereka inginkan. Kami tawarkan kail, pekerjaan yang sesuai dengan minat mereka untuk menghasilkan uang,” jelas In’am.
Dia selalu mencontohkan warung miliknya sebagai tempat yang mungkin bisa dijadikan pilihan para mantan napiter. In’am sering mengundang mereka untuk datang ke warung kopinya.
Mengenal seluk-beluk kehidupan In’am sejak kecil, menjadi pertimbangan bagi Ali Fauzi untuk menyetujui cara-cara yang dipakai In’am untuk memotivasi para mantan napiter.
Menurut Ali, In’am tidak hanya bicara teori karena mengalami dan mempraktikkan.
“Saya kenal In’am sejak kecil, sampai ia jadi pengusaha dan jatuh. Kemudian bangkit lagi saya tahu,” ujar Ali, yang merupakan adik dari trio bomber Bali I.
Keseriusan In’am dan efektivitas Kopi Gandroeng sebagai sarana memotivasi para bekas napiter membuat Ali tertarik untuk ikut berkecimpung di bisnis itu.
Bekerjasama dengan In’am, dia mendirikan warung kopi di Yogyakarta yang kini dalam tahap awal pembangunan.
Dia berharap akan semakin banyak mantan napiter yang memilih berjihad dengan cara lain, yaitu menata kehidupannya dan keluarga serta bermanfaat bagi sesama, alih-alih melakukan aksi teror.
Gandroeng diartikan In’am dengan cinta. Dia berharap siapapun yang menikmati kopi di warungnya akan melupakan kepahitan masa lalu dan merasakan cinta dalam hidupnya, seperti motto: “Barang siapa yang ngopi, kesepiannya diampuni.”