Aktivis: Warga Eks Gafatar Terus Alami Diskriminasi
2016.06.09
Jakarta

Tim kuasa hukum tiga eks anggota kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) terus mendatangi sejumlah lembaga negara untuk mengadvokasi atas penahanan klien mereka karena dijerat tindak pidana makar dan penistaan agama.
Seorang tim kuasa hukum, Asfinawati, mengatakan pada BeritaBenar di Jakarta bahwa mereka mendatangi kantor Ombudsman Republik Indonesia, Kamis, 9 Juni 2016.
“Kami juga sudah mengadukan kasus ini ke Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia),” ujar Fatiatulo Lazira, anggota tim kuasa hukum yang lain dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Bogor Raya.
Menurutnya, tiga anggota Gafatar, Mahful Muis Tumanurung, Ahmad Musaddeq, dan Andri Cahya, yang merupakan putra Musaddeq, ditahan oleh Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar (Mabes) Polri setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 25 Mei lalu.
“Saat ini mereka masih ditahan dan kasusnya masih diproses oleh Bareskrim,” ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Martinus menambahkan mereka ditahan atas dugaan tindak pidana makar karena ingin mendirikan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam (NKTSA) dan penistaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dengan mengacu pada Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut polisi, dari dokumen yang disita sebagai barang bukti menunjukkan ada deklarasi negara dan pembagian wilayah (Indonesia) di dalamnya. Dari barang bukti, jelas Martinus, memungkinkan ada tersangka baru.
Kebebasan beragama dijamin
Asfinawati mengatakan bahwa atas tuduhan polisi, ketiganya telah menjelaskan mengenai keyakinan mereka dan diuraikan dalam berita acara pemeriksaan.
Indonesia, katanya, ialah negara hukum yang demokratis dan memiliki undang-undang terkait hak asasi manusia serta kebebasan beragama atau berkeyakinan dijamin oleh konstitusi.
“Oleh karenanya penentuan ketiganya sebagai tersangka dan penahanan tersebut merupakan kriminalisasi atas kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ujar Asfinawati.
Fatiatulo menambahkan tuduhan makar tak mendasar karena NKTSA didirikan tahun lalu, sebagai organisasi masyarakat yang fokus di bidang pertanian, untuk menampung eks anggota Gafatar setelah organisasi itu dibubarkan.
“Saat pemeriksaan, tidak ada Musaddeq melakukan penistaan agama. Dia juga tidak terlibat dalam NKTSA baik dalam struktur maupun sebagai anggota,” ujar Fatiatulo.
Kelompok Gafatar dibubarkan menyusul penyerangan dan pembakaran rumah-rumah yang didiami anggotanya di Mempawah, Kalimantan Barat, pada Januari lalu. Di lokasi tersebut mereka juga bertani dan bercocok tanam.
Aksi kekerasan itu memicu evakuasi setidaknya 2.000 anggotanya yang berada di berbagai wilayah Kalimantan dan mereka dipulangkan ke daerah asal di Sumatra dan Jawa. Sebelum dipulangkan, mereka sempat ditampung di beberapa wisma di Jakarta yang dikelola pemerintah untuk didata ulang dan dibina.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Februari lalu menyatakan Gafatar sebagai aliran sesat karena dianggap penjelmaan Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Ahmad Musaddeq, yang sebelumnya sudah dinyatakan sesat.
Berdasarkan pengakuan beberapa eks anggotanya yang dikutip berbagai media, Gafatar bukan kelompok keagamaan dan tak menyatukan ajaran berbagai agama, seperti pernah dikatakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Januari lalu.
Alami kekerasan
Fatiatulo mengatakan bahwa tim kuasa hukum juga mendatangi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk mengadukan nasib para wanita dan anak-anak yang terlantar setelah terusir dari Mempawah.
Menurut aktivis yang melakukan pendampingan, setidaknya mereka mengalami kekerasan dalam enam tahap, yaitu sebelum pengusiran, saat evakuasi paksa, di penampungan di Kalimantan, proses pemulangan ke daerah asal, penampungan di daerah asal dan ketika pemulangan.
Salah satu warga eks Gafatar yang mengadukan nasib perempuan dan anak-anak eks Gafatar ke Komnas Perempuan adalah Ida, atau biasa disebut Bunda Ida.
Menurut Ida dalam kesaksiannya di depan para komisioner Komnas Perempuan, 2 Juni, situasi intimidatif, penuh kekerasan serta perlakuan tak manusiawi yang dialami warga eks Gafatar membuat perempuan dan anak-anak sulit menghapus trauma sampai sekarang.
“Anak-anak dan perempuan mengalami langsung mulai pengusiran paksa oleh RT, RW, lurah, camat, hingga bupati, kemudian harus melihat pembakaran tempat tinggal mereka,” ujar Ida, yang dalam kepengurusan sempat menjabat DPD Jawa Barat Gafatar.
“Kamis juga menyaksikan tentara yang marah-marah sambil mengokang senjata laras panjang, sampai cara-cara tak manusiawi mengangkut kami ke kendaraan untuk dipindah ke pengungsian demi pengungsian,” tambahnya.
Warga eks Gafatar juga mengalami kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan seperti KTP dan dokumen resmi lain, sehingga mempersulit mengakses hak-hak ekonomi, sosial, kesehatan, dan sebagainya sebagai warga negara Indonesia.
“Bagaimana mungkin bisa membuat KTP dan surat-surat resmi lainnya, saya saja ketika pulang tidak diakui sebagai warga tempat saya berasal oleh RT, RW, dan kelurahan,” ujar Rahmat Sunjaya, yang pernah menjadi koordinator wilayah Jawa Barat.
Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengaku, mereka akan mengagendakan pertemuan untuk perumusan tindakan yang diambil. Pengaduan eks anggota Gafatar juga diperkuat hasil pemantauan yang telah dilakukan Komnas HAM.
“Telah terjadi bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus pengusiran warga eks Gafatar,” ujar Imdadun.