Ditangkap, YouTuber yang Beri Transpuan Kotak Makan Berisi Sampah
2020.05.08
Jakarta

Ferdian Paleka alias Ferdiansyah, seorang pengguna YouTube yang membagikan kotak makanan berisi sampah kepada transpuan di Bandung dalam prank yang dia unggah ke situs berbagi video itu, ditangkap polisi, Jumat (8/5).
Ferdian ditangkap di Pelabuhan Merak, Serang, Banten bersama satu tersangka lainnya, M. Aidil dengan tuduhan penghinaan yang ancaman hukumannya maksimal 4 tahun, kata Kepala Bidang Humas Polda Jabar, Kombes Saptono Erlangga Waskitoroso.
“Benar, telah dilakukan pengejaran dan penangkapan DPO (daftar pencarian orang) perkara UU ITE atas nama tersangka Ferdiansyah alias Ferdian Paleka dan M. Aidil, Jumat dini hari, sekitar pukul 01:00,” kata Saptono, kepada BenarNews.
Ferdian dan Aidil ditangkap saat baru turun dari kapal yang berangkat dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung, dalam perjalanan menuju Bandung.
“Tersangka dijemput ayah dan kakak laki-lakinya di Pelabuhan Merak,” kata Saptono.
Satu tersangka lainnya, Tubagus Fahddinar, telah menyerahkan diri dengan diantar pihak keluarga ke kepolisian pada Selasa (5/5).
Tubagus dan Aidil disebut polisi terlibat dalam membantu membuat konten bermuatan penghinaan yang kemudian disebarkan melalui akun YouTube milik Ferdian.
Saptono mengatakan, Ferdian dan Aidil sempat melarikan diri dari Bandung hingga ke Palembang, Sumatra Selatan. “Intinya mereka ini kucing-kucingan lah sama petugas,” tukasnya.
Ketiganya dijerat dengan pasal berlapis UU ITE terkait dengan distribusi konten digital yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik dengan hukuman maksimal penjara 4 tahun dan denda Rp750 juta.
Seminggu sebelumnya, Ferdian mengunggah sebuah video, yang pada saat penulisan ini sudah tidak ada dalam akun youtube-nya namun masih bisa diakses melalui publikasi oleh penguna lain, tentang dia dan Tubagus yang membagikan paket makanan dan sembako yang sebenarnya diisi dengan bata dan sampah, di seputaran jalan di Bandung.
“Kita mau mensurvei bencong-bencong di pinggir jalan. Apakah di bulan puasa ini mereka itu ada atau nggak […]. Kalau ada kita kasih, kalau tidak berarti kota ini aman dari waria,” demikian kata Ferdian dalam video yang memperlihatkan ia dan Tubagus tertawa-tawa ketika memberikan “kotak-kotak donasi” tersebut kepada waria yang mereka temui.
Banyak orang mengecam kelakuan Ferdian yang memiliki subscriber YouTube sekitar 120.000 tersebut. Media juga melaporkan bahwa sebelumnya dia juga pernah mengunggah konten yang merendahkan martabat perempuan dan pekerja seks.
Para korban olok-olokan Ferdian itu kemudian mendatangi Polrestabes Bandung, Senin lalu, untuk melaporkan perbuatan tidak menyenangkan yang terjadi di Jalan Ibrahim Adjie, Bandung, pada akhir bulan April itu.
“Dia memberikan bingkisan, kemudian saya bawa, ini teman saya juga dikasih satu. Dia pergi dan saya buka tiba-tiba itu isinya toge busuk,” salah seorang pelapor, Sani (39), seperti dikutip AntaraNews.
Sejak pelaporan tersebut, Ferdian menghilang.
Namun tampaknya Ferdian tidak menyesali perbuatannya dengan mengunggah “pernyataan maaf” dalam bentuk sindiran di akun instagramnya.
“Saya pribadi meminta maaf atas kelakuan saya itu. Tapi bohong ya…” tulis Ferdian.
Hukuman setimpal
Aktivis Transgender Koalisi Mekanisme Penanggulangan Krisis, Kanzha Vina, meminta aparat untuk memberikan hukuman setimpal bagi ketiga pelaku.
“Perilaku ini memperburuk situasi teman-teman transgender di tengah COVID-19. Saya harap polisi memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku,” kata Khanza singkat.
Beka Ulung Hapsara dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut tindakan ketiga pelaku diskriminatif dan merendahkan kelompok minoritas.
“Kalau dari aspek HAM, tindakan pelaku ini mencederai hak atas rasa aman, hak bebas dari diskriminasi, dan hak atas perlakuan setara,” kata Beka saat dihubungi.
“Kita sedang menghadapi wabah yang belum tahu akan sampai kapan. Saat-saat seperti ini justru penting untuk menjaga rasa kemanusiaan dan kesetaraan kepada sesama,” tambahnya.
Kendati perbuatan Ferdian tidak bisa dibenarkan, Beka berpendapat, kepolisian tidak perlu menjerat pelaku dengan hukuman pidana. Sebaliknya, aparat hukum mengedepankan prinsip restorative justice.
“Hukuman bagi pelaku harus bisa memberikan edukasi kepada publik tentang kemanusiaan,” tukasnya.
Tindakan penghinaan dan kekerasan terhadap kelompok transgender di tengah wabah corona juga pernah dialami Mira, transpuan di Cilincing, Jakarta Utara, yang dibakar hidup-hidup karena dituduh mencuri dompet dan ponsel milik seorang sopir truk.
Berdasarkan rilis Tim Advokasi kasus Mira, kejadian mengenaskan itu berlangsung pada Sabtu (4/4) dini hari. Mira diseret dari tempat tinggalnya oleh enam tersangka ke pangkalan kontainer pada pukul 01.30 WIB.
Mira laku dipukuli hingga babak belur. Setelahnya, Mira disiram dengan bensin oleh salah seorang pelaku. Kemudian, pelaku lain menyalakan korek api yang dengan cepat menyambar tubuh Mira.
Kapolres Metro Jakarta Utara. Kombes Pol. Budhi Herdi Susianto, mengutip Tempo.co, mengatakan hingga saat ini aparat baru berhasil menangkap tiga dari enam tersangka. Mereka terancam Pasal 170 ayat 2 dan 3 KUHP tentang kekerasan fisik secara pengeroyokan dengan pidana maksimal 12 tahun penjara.
Arus Pelangi, salah satu komunitas yang membela hak-hak kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) mencatat telah terjadi 1.850 kasus persekusi terhadap kelompok minoritas ini selama kurun waktu 2006 hingga 2018. Dari ribuan kasus tersebut, sebagian besarnya tidak mendapat penyelesaian dari aparat.
Kasus penembakan terhadap delapan waria di Taman Lawang yang terjadi pada 2011 bahkan belum terungkap hingga saat ini.