Perempuan Berpeluang Memimpin Yogyakarta

Sultan Hamengkubuwono X meminta semua pihak untuk menghormati putusan MK.
Kusumasari Ayuningtyas
2017.09.04
Yogyakarta
170901_ID_Kraton_1000.jpg GKR Mangkubumi (dua dari kiri) duduk bersama ibundanya GKR Hemas (kiri) dan dua pamannya Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Cakraningrat (dua dari kanan) dan GBPH Prabukusumo (kanan) dalam sebuah acara di Keraton Yogyakarta, 3 November 2016.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membuka peluang bagi perempuan untuk memimpin provinsi tersebut, walaupun keputusan ini juga menuai tantangan.

Putusan MK yang diumumkan, Kamis, 31 Agustus 2017, menghapuskan kata “istri” dalam pasal persyaratan calon Gubernur atau Wakil Gubernur (Wagub) DIY yang menyebabkan selama ini hanya lelaki yang boleh memimpin.

Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY itu berbunyi, "Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Indonesia yang harus memenuhi syarat; menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak."

Sejumlah pihak terdiri dari perempuan aktivis, aktivis anti-diskriminasi, pengacara, abdi dalem Keraton Ngayogyakarta dan perangkat desa melakukan uji materi pasal itu, sejak Juni 2016.

Berbeda dengan provinsi lain di Indonesia yang dipilih melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), siapapun Sultan Ngayogyakarta, ia otomatis menjadi Gubernur DIY. Sedangkan posisi Wagub otomatis dijabat oleh Raja Pakualaman.

Kendati MK telah membuka peluang perempuan jadi Gubernur DIY, namun Purwanto, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, melihat sebaliknya untuk posisi sultan.

“Tentu saja akan geger. Kalangan kerajaan yang tidak setuju bisa saja membuat gerakan sendiri karena melanggar tradisi Kerajaan Mataram Islam sementara Yogyakarta adalah bagian dari Kerajaan Mataram Islam,” tuturnya kepada BeritaBenar, Jumat, 1 September 2017.

Sultan Hamengkubuwono X (Sultan HB X) pada 30 April 2015, menunjuk putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pambayun Nurmalitasari menjadi putri mahkota dengan gelar GKR Mangkubumi.

Penobatan ini diyakini secara tidak langsung akan menggantikannya memegang tampuk kekuasaan DIY.

“Mangkubumi adalah nama yang disandang putra mahkota atau pangeran yang terpilih sebagai calon pengganti raja. Sejak Kerajaan Mataram berdiri sampai sekarang itu selalu disandang laki-laki, termasuk Sultan HB X yang dari Herjuno Darpati jadi Mangkubumi,” jelas Purwanto.

Peluang Mangkubumi jadi Ratu Yogyakarta terbuka jika ayahnya, Sultan HB X yang telah menjabat sejak 1989 memutuskan mundur sebelum wafat dan menyerahkan tahtanya kepada putrinya.

Sultan HB X memiliki lima putri dan tidak mempunyai putra, tetapi dia memiliki 11 adik dari empat ibu.

“Sejak keluarnya Sabda Raja, adik-adik sultan semuanya menjauh karena memang tidak ada yang setuju perempuan menjadi Raja,” terang Purwanto.

Putusan MK

Irmanputra Sidin, selaku kuasa hukum para pemohon mengapresiasi putusan MK yang menurutnya adalah cerminan dari manifestasi perlindungan hak-hak setiap orang, tanpa harus mendiskriminasi perempuan untuk menjadi gubernur.

“Dengan putusan ini maka memberi basis hukum yang kokoh, bahwa siapapun baik itu perempuan atau laki-laki berhak memimpin, berhak jadi raja dan bagian dari internal Kesultanan dan Kadipaten,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.

Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung, menolak berkomentar lebih jauh dan menyatakan, pihaknya tak akan terburu-buru merevisi Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) meski MK telah menghapus kata “istri” dalam UU tersebut.

“Perlu pengkajian dan revisi mendalam untuk melakukan revisi Perdais,” ujarnya kepada wartawan, yang menolak berkomentar kemungkinan Yogyakarta akan dipimpin seorang perempuan.

Ketua Paguyuban Dukuh se-DIY Semar Sembogo, Sukiman, juga tidak mau berkomentar karena menurutnya masih banyak harus dibahas lebih jelas terutama dengan para Ketua Padukuhuhan di DIY yang berjumlah sekitar empat ribu orang.

“Putusan MK baru keluar dan ini hari libur, sehingga kami belum sempat bertemu dan membicarakan mengenai putusan ini dan belum tahu sikap seperti apa yang harus kami ambil,” ujarnya saat dihubungi BeritaBenar.

Sultan Hamengkubuwono X dan istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, saat berlangsung kirab royal wedding di Yogyakarta, tahun 2013. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)

Peluang 50 persen

Dosen Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada, Bayu Dardias, mengatakan putusan MK itu membuka kesempatan bagi GKR Mangkubumi menjadi Gubernur DIY, dari semula 0 persen menjadi 50 persen.

“Jika hambatan berupa pasal 18 ayat 1 huruf m sudah bisa teratasi, langkahnya semakin mulus,” katanya kepada BeritaBenar, walaupun ia tak mau berkomentar mengenai proses yang harus dilalui GKR Mangkubumi untuk menjadi gubernur.

Sedangkan, Sultan HB X mengaku belum membaca putusan MK tersebut dan enggan berkomentar banyak. Dia hanya meminta semua pihak menghormati putusan MK.

“Kalau itu keputusannya ya sudah, nggak ada hubungannya dengan paugeran Keraton, wong ini gubernur kok yang bikin paugeran itu siapa? (Sultan) ya sudah,” ujarnya kepada wartawan.

Sementara itu, Gusti Kanjeng Ratu Hemas – istri Sultan HB X – lebih terbuka menanggapi putusan MK yang menurutnya telah menghilangkan batasan kalau penerus sultan selama ini harus seorang laki-laki.

“Alhamdulillah, Puji Tuhan, semuanya sudah berjalan baik, sehingga secara hukum kita sudah disahkan secara konstitusi sehingga sekarang sudah tidak ada persyaratan ‘istri’ lagi. Semua baik laki-laki atau perempuan bisa menjadi gubernur,” tuturnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.