Densus 88 Tangkap Terduga Pengirim WNI ke Suriah

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengakui program deradikalisasi terbentur sulitnya mengikis paham radikalisme.
Arie Firdaus
2016.09.28
Jakarta
160928_ID_ISIS_1000.jpg Polisi mengawal sekelompok terduga militan simpatisan ISIS sebelum disidangkan di pengadilan di Jakarta, 15 Juni 2016.
AFP

Aparat Detasemen Khusus Antiteror 88 Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Densus 88 Mabes Polri) menangkap AR alias Abu Fauzan, sosok yang diduga bertugas mengirim Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

"(Abu Fauzan) ditangkap pukul 08.00 WIB tadi di Bekasi, Jawa Barat," jelas Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen. Pol. Boy Rafli Amar kepada para wartawan di kantornya, Rabu, 28 September 2016.

Sebelum ditangkap Rabu pagi, kata Boy, Fauzan telah empat kali memberangkatkan WNI untuk bergabung dengan ISIS di Suriah. Tiga gelombang pemberangkatan pertama berlangsung Oktober-November 2015. Satu lagi dilakukan pada Januari 2016.

“Dia memiliki keahlian untuk menyiapkan, memberikan motivasi, pembekalan terhadap orang-orang yang mau berangkat, dan mengajari teknis berbohong kalau tertangkap. Jadi, dia mengajarkan cara agar terhindar dari petugas,” ujar Boy.

Penangkapan Fauzan bermula dari digagalkan keberangkatan tujuh WNI ke Suriah melalui Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 22 September lalu.

Tiga dari tujuh orang yang ditangkap itu, telah ditetapkan sebagai tersangka yaitu A, AMF, dan W. Sedangkan empat lainnya masih berstatus saksi. Peran Fauzan diketahui aparat kepolisian dari pemeriksaan terhadap ketiga tersangka.

"Mereka mengaku diperintah Abu Fauzan," jelas Boy.

Akibat tindakannya, Fauzan dan tiga tersangka lain dijerat Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

Terkait Bahrumsyah atau Bahrun Naim?

Boy tak merinci afiliasi jaringan Fauzan, mengatakan aparat kepolisian masih harus mendalami lebih lanjut hal itu. Demikian juga pengamat dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Muhammad Ade, menjawab diplomatis kala ditanya afiliasi Fauzan.

“Dalam riset kami, ada beberapa nama Fauzan dalam jaringan terorisme," kata Ade kepada BeritaBenar.

Namun jika merujuk pada domisili saat ditangkap yaitu di Bekasi, Ade menduga, Fauzan terkait jaringan Bahrumsyah.

Bahrumsyah adalah warga Indonesia yang disebut telah menjadi salah satu pucuk pimpinan ISIS di Suriah.

"Meskipun aslinya, Fauzan itu berasal dari Jawa Tengah," tutur Ade.

Lain halnya dengan pendapat Al Chaidar, pengamat teroris dari Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Provinsi Aceh, yang secara tegas menunjuk Fauzan terafiliasi dengan Bahrun Naim.

Bahrun Naim adalah warga Indonesia yang menjadi bagian ISIS di Suriah. Polisi mengklaim Bahrun sebagai dalang aksi teror di Jalan Thamrin, Jakarta, Januari lalu, yang menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku. Namun klaim ini  disangkal oleh pakar terorisme, Sidney Jones, yang mengatakan bahwa aksi teror tersebut dilakukan oleh kelompok lokal, Partisan Khilafah, atau Jamaah Anshar Khilafah (JAK), dengan Aman Abdurrahman, seorang ulama yang saat ini sedang meringkuk di penjara, sebagai pemimpin ideologinya.

Meski Bahrun Naim dan Bahrumsyah sama-sama berada di Suriah, beberapa pengamat menyebut keduanya tak sejalan. Mereka dikatakan berebut pucuk pemimpin ISIS di Indonesia.

"Kenal dari lama, kok. Saat masih sama-sama di Poso (Sulawesi Tengah)," kata Chaidar, tentang keterkaitan Fauzan dan Bahrun, saat dihubungi BeritaBenar.

Dia mencatat, keterikatan Fauzan dan ISIS telah terjalin sejak lama. Sebelum ditangkap sebagai fasilitator WNI ke Suriah, ungkap Chaidar, ia pernah dua kali ditangkap aparat Densus 88.

Penangkapan pertama terkait dengan kaos berlogo ISIS. Adapun penangkapan kedua menyangkut perekrutan anggota ISIS.

"Yang pasti, dalam kedua penangkapan itu ia dilepaskan," ujarnya.

Deradikalisasi lemah

Perihal berulangnya aksi Fauzan mengirim WNI ke Suriah, Chaidar menunjuk program deradikalisasi yang lemah sebagai penyebabnya. Menurutnya, materi deradikalisasi yang disusun pemerintah seringkali salah sasaran.

Ia mencontohkan materi program deradikalisasi yang berisi Pancasila dan nasionalisme.

"Itu tak tepat. Mereka (teroris), kan, anti terhadap itu," ujar Chaidar.

Pendapat tak jauh berbeda dikatakan Ade. Menurutnya, pemerintah juga seringkali mendatangkan ulama yang tak memiliki pemahaman atau mahzab agama sejalan dengan teroris.

Tak hanya itu, kata Ade, pemerintah seharusnya mengganti program deradikalisasi dengan humanisasi, yang mengajarkan bahwa dunia itu luas dan memiliki banyak perbedaan.

“Biar mereka bisa menerima perbedaan,” tegasnya.

Soal anggapan masih lemahnya program deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tak menyangkal.

Menurut juru bicara BNPT, Irfan Idris, BNPT memang masih sulit melunturkan paham radikal terduga teroris. Apalagi yang berada di luar lembaga pemasyarakatan (lapas).

“Kalau di luar lapas, kan, memang tak bisa dipaksa karena tak ada regulasinya. Kalau ditindak, nanti justru melanggar hukum,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Tak pernah ketahuan

Merujuk data Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, akhir tahun lalu setidaknya 800 WNI diduga telah bergabung ISIS. Dari jumlah itu, 284 di antaranya berhasil diidentifikasi.

Namun jumlah lebih kecil dilansir BNPT yang menyebutkan, WNI tergabung ISIS sekitar 500 orang.

Irfan beralasan, perbedaan data itu lantaran WNI yang masuk ke Suriah memang tak pernah melalui jalur resmi sehingga jumlah pastinya sulit diketahui.

Mengenai masih lakunya ajakan ke Suriah bergabung ISIS padahal kelompok itu banyak melakukan kejahatan, Irfan menyebut masih banyaknya proganda di situs, buku, dan media sosial sebagai musababnya.

“Makanya kami meminta ada revisi UU Nomor 15 tahun 2003, sehingga ada fungsi pencegahan,” kata Irfan.

“Kalau ada (fungsi pencegahan), orang yang terduga karena menyebarkan paham radikal pun bisa disanksi. Penyebaran bisa ditekan.”

Lain lagi pendapat Chaidar. Menurutnya, ketertarikan bergabung dengan ISIS tak semata-mata dipicu kesamaan ideologi, tapi juga iming-iming finansial seperti gaji tinggi.

“Perbaikan ekonomi kuncinya,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.