Aparat Keamanan Terus Buru Kelompok Bersenjata di Papua
2018.07.12
Jayapura

Menanggapi aksi kekerasan yang terjadi sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua, aparat keamanan melakukan aksi pengejaran kelompok bersenjata yang diduga berada dibalik aksi serangan tersebut ke Keneyam, ibukota Kabupaten Nduga, di provinsi paling timur Indonesia itu.
“Aparat keamanan masuk dari Timika dengan menggunakan jalur sungai karena tidak ada pesawat,” kata Bupati Nduga, Yarius Gwijangge saat dihubungi BeritaBenar dari Jayapura, Kamis, 12 Juli 2018.
“Tidak ada serangan ke masyarakat. Mereka (aparat keamanan) lakukan serangan ke tempat dimana OPM (Organisasi Papua Merdeka) berada,” ungkap Yarius, yang mengklaim operasi itu dilakukan tanpa kordinasi dengan pemerintah daerah sehingga membuat masyarakat takut dan sebagian lari ke hutan.
Dua hari sebelum Pilkada serentak pada 27 Juni, tiga warga sipil tewas ketika sekelompok orang bersenjata menyerang sebuah pesawat yang mengangkut 15 anggota Brimob untuk pengamanan Pilkada saat mendarat di Bandara Keneyam.
“Sekitar 100 personel diperbantukan untuk mengejar kelompok bersenjata yang menyerang warga sebelum Pilkada lalu,” ujar Wakapolda Papua, Brigjen. Pol. Marjuki Yakobus, kepada wartawan.
Pengejaran terhadap kelompok bersenjata, kata Yarius, melibatkan sebuah helikopter yang berputar di atas Keneyam dan menembak ke arah kampung Alguru yang berdekatan.
Kampung ini diyakini sebagai lokasi kelompok bersenjata yang mengaku sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Sejauh ini belum ada informasi terkait korban jiwa.
Saat dihubungi, Bupati Nduga itu mengaku sedang berkordinasi dengan Komandan Kodim dan penanggung jawab keamanan setempat.
Yarius menegaskan dia telah meminta aparat keamanan tidak melakukan serangan dari udara karena dikhawatirkan bisa mengakibatkan warga sipil menjadi korban.
“Saat ini (Kamis), aparat keamanan telah menyeberang kali Keneyam dan menguasai kampung Alguru. Saya belum tahu bagaimana kondisi masyarakat di sana,” ujarnya.
Diminta tidak berlebihan
Tindakan aparat keamanan di Keneyam mengundang reaksi dari intelektual asal Nduga. Salah satunya adalah Semuel Tabuni yang pernah maju sebagai calon bupati di Nduga.
“Daerah ini seratus persen warganya masih mengalami trauma berat atas peristiwa penyanderaan Mapenduma tahun 1995/1996,” katanya.
Tindakan aparat keamanan yang berlebihan menurutnya akan menambah trauma berat masa lalu dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat akan semakin tidak percaya pada pemerintah.
Kapolda Papua, Jenderal Boy Rafli Amar, menjelaskan yang dilakukan aparat keamanan di Keneyam adalah operasi penegakan hukum dan bukan operasi militer.
“Itu operasi penegakan hukum oleh personel Polri terhadap kelompok bersenjata yang telah menembak dua pesawat Demonim dan Trigana, termasuk dua pilot kena tembak dan tiga warga sipil dewasa dan satu balita dibacok dengan parang,” katanya.
Dia melanjutkanya bahwa operasi dilakukan dalam rangka melindungi masyarakat lain agar tidak ada korban lagi.
Trauma Mapenduma
Penyisiran di Keneyam merupakan kali kedua terjadi di wilayah Ndugama (komunitas masyarakat asli di Nduga) sejak peristiwa Mapenduma pada tahun 1996.
Insiden yang diawali pengejaran Kelly Kwalik – yang konon dipimpin Prabowo Subianto – yang menyandera 26 peneliti dalam Ekspedisi Lorentz Papua diduga mengakibatkan korban jiwa hingga ratusan orang.
Selain itu, masyarakat setempat mengatakan tentara bayaran asing juga terlibat dalam upaya pembebasan sandera melalui serangan menggunakan helikopter di Kampung Nggeselema pada 5 September 1996.
Laporan gereja di Papua menyebutkan serangan terhadap kampung-kampung warga sipil tak hanya terjadi di Nggeselema.
Kampung Talem, Yuguru dan beberapa kampung kecil lain dibombardir dengan bom, granat dan roket dari udara oleh helikopter milik TNI dan PT Airfast yang berpusat di Timika.
Helikopter-helikopter ini disebutkan tiba-tiba menyusup masuk saat helikopter Palang Merah Internasional lepas landas dan membombardir gereja-gereja serta rumah warga yang ditempati sebagai tempat pelindungan.
Menurut catatan pihak gereja Papua serta Elsham Papua, insiden Mapenduma itu mengakibatkan 35 orang terbunuh, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja hancur, 166 rumah hangus, dan 123 orang meninggal dunia karena sakit dan kekurangan bahan pangan dalam masa pengungsian di hutan.