Saat Gelar Perkara, Ahok Bakal Dipertemukan dengan Pelapor
2016.11.11
Jakarta

Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama bakal dipertemukan dengan para pelapornya saat gelar perkara kasus di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Selasa, 15 November 2016, kata polisi.
"Ahok akan diundang. Begitu juga sebelas pelapornya," ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Agus Rianto kepada BeritaBenar, Jumat, 11 November 2016.
Selain Ahok dan para pelapor yang di dalamnya termasuk pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab, juga diundang petugas kepolisian dari Divisi Hukum, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), Ombudsman, dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Kehadiran empat badan itu, tambah Agus, berfungsi sebagai pengawas jalannya gelar perkara. Normalnya, keempat lembaga tersebut memang tak turut hadir dalam gelar perkara kepolisian.
"Agar proses ini akuntabel," kata Agus, beralasan.
Kepolisian juga bakal menghadirkan para saksi ahli. Hanya saja, Agus enggan merincikan berapa saksi ahli yang akan hadir dalam gelar perkara kasus dugaan penistaan Al-Quran yang dilakukan Ahok.
"Yang pasti, hasilnya segera dianalisa dan disampaikan keesokannya. Apakah ada tindak pidana atau tidak," terang Agus.
Siap dipenjara
Perihal kasus yang tengah melilitnya, Ahok mengaku ada pihak yang mendorongnya mundur dari pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 karena dianggap akan terus membuat suasana tidak kondusif.
"Saya sudah bilang. Kalau suruh saya mundur, saya lebih baik ditangkap dan dipenjara," ujarnya seperti dikutip dari laman Kompas.com.
"Jadi kalau saya mundur artinya apa? Lama-lama saya jadi mikir, ini cuma ujung-ujungnya cuma takut Ahok jadi gubernur lagi. Takut amat sih gue jadi gubernur?" tambah Ahok.
Dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta, Ahok berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat. Mereka akan bertarung dengan pasangan Agus Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok memang memancing perdebatan, sejak muncul, 27 September lalu. Sehubungan dengan itu, Ahok sudah meminta maaf, dan mengatakan bahwa tidak ada itikad darinya untuk menistakan agama. Dia sudah dua kali diperiksa polisi dan penyidik juga sudah memeriksa sekitar 30 saksi.
Rangkaian unjuk rasa mendesak polisi agar segera menahan Ahok terjadi di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia. Puncaknya adalah demonstrasi besar-besaran di depan Istana Negara, 4 November lalu.
Meski berawal damai, demo yang diperkirakan diikuti sekitar 100 ribu orang itu berakhir ricuh. Seorang pendemo meninggal, serta puluhan polisi dan pengunjuk rasa luka-luka.
Kunjungi Brimob
Menyusul aksi demo tersebut, Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan kalangan ulama serta mengunjungi TNI serta Polri.
Dalam perkembangan terbaru, Jokowi mengunjungi markas Korp Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat, 11 November 2016.
Dalam sambutannya, dia memerintahkan Brimob untuk waspada terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Sekali lagi, berikan pengayoman, perlindungan, rasa aman, untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal suku, agama dan golongan,” ujarnya dalam rilis yang diterima BeritaBenar.
“Sebagai bangsa besar, kita akan mundur jauh ke belakang kalau energi dihabiskan untuk pertentangan-pertentangan suku, pertentangan agama, dan pertentangan golongan,” tambahnya.
Jokowi juga berharap Indonesia menjadi contoh terbaik bagi dunia dalam mengelola keberagaman, “di mana kemajemukan justru menjadi kekuatan bangsa kita untuk maju.”
Urung live
Sementara itu, sehubungan dengan sidang gelar perkara Ahok, yang tadinya sempat direncanakan terbuka, akhirnya disepakati dilakukan tertutup.
Sabtu lalu, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian sempat mengatakan gelar perkara kasus Ahok akan digelar terbuka, bahkan bisa disiarkan langsung televisi.
Hal itu, katanya, agar kasus itu terang benderang dan tidak menimbulkan prasangka buruk di tengah masyarakat.
"Bapak Presiden (Joko “Jokowi” Widodo) menyampaikan agar gelar perkaranya dilakukan live (terbuka)," kata Tito.
Dalam proses hukum, gelar perkara berfungsi untuk menentukan apakah tuduhan yang dialamatkan kepada seseorang memenuhi unsur pidana atau tidak.
Belakangan, kepolisian mengurungkan rencana tersebut. Menurut Agus, media hanya diperkenankan memasuki ruangan gelar perkara saat pembukaan.
Agus menepis jika perubahan itu akibat tekanan.
"Kalau digelar di aula, seperti konser, baru bisa live. Ini karena keterbatasan tempat," jelasnya.
‘Tak ada aturan’
Rencana gelar perkara terbuka kasus Ahok memang sempat ditentang beberapa pihak. Salah satunya FPI, yang menilai rencana itu sebagai siasat kepolisian untuk membentuk opini publik.
Ahli hukum dari Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani mengatakan, aturan di Indonesia memang tak mengatur secara rinci apakah gelar perkara bisa terbuka atau tertutup.
Meski begitu, Eva menilai kepolisian memang tak harus menggelar perkara secara terbuka.
Pasalnya, katanya, gelar perkara masih tergolong proses pra-judikasi sehingga orang yang diperiksa wajib diduga tak bersalah.
"Kalau dibuka, apalagi sampai disiarkan live, itu sudah menjadi pengadilan," kata Eva. "Sedangkan ini masih belum tersangka."
Ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, juga menyatakan, prosedur gelar perkara tak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga keputusannya bisa ditetapkan polisi.
"Itu menjadi prosedur internal kepolisian, apakah digelar terbuka atau tertutup," katanya.
Pendapatyang sama disampaikan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti.
"Itu diskresi polisi," kata Poengky.
Merujuk pada Pasal 18 ayat 1 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, diskresi adalah sikap pejabat kepolisian yang dapat bertindak menurut penilaiannya.
Tia Asmara di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.