Kesalehan Sosial di Tengah Diskriminasi Ahmadiyah
2018.11.22
Yogyakarta

Akhir Juli lalu menjadi saat yang tidak terlupakan bagi Wiwin Siti Aminah Rohmawati, periset Institute of Southeast Asian Islam (ISAIS), yang kala itu sedang meneliti komunitas Ahmadiyah.
Seorang anggota jamaah Ahmadiyah baru saja meninggal dunia, pagi itu. Diantar warga, jenazah disemayamkan di masjid Kampus Mubarak di Jawa Barat. Sesuai wasiat dari almarhum, jenazah disalatkan terlebih dulu sebelum diambil kornea matanya.
“Saya dipersilahkan ikut masuk dan menunggu operasi pengambilan kornea, meski agak takut-takut,” tutur Wiwin kepada BeritaBenar, Senin, 19 November 2018.
Tapi, akhirnya pengambilan kornea mata batal dilakukan karena dokter yang sedianya akan melakukan operasi tidak kunjung datang.
Dari informasi yang dikumpulkan Wiwin, dokter beralasan terjebak macet.
“Alasan yang diberikan kurang memuaskan, sudah terlanjur expired sehingga akhirnya batal operasi donor mata,” ujarnya.
Meski kecewa, tak ada yang bisa dilakukan selain menguburkan jenazah dan batalnya pendonoran mata seperti diinginkan almarhum semasa hidup.
“Kami sudah biasa seperti itu. Tidak hanya donor mata, ketika donor darah pun ketika tahu kami yang melakukan donor darah, petugas menolak dengan berbagai alasan,” ungkap juru bicara Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana.
Menurutnya, kasus seperti dialami Wiwin masih bisa dimaklumi mengingat ada orang-orang tertentu yang merasa takut berurusan dengan Ahmadi.
Yendra mencontohkan ketika isu Ahmadiyah sedang naik, saat itu jika anggota JAI ingin melakukan donor darah atau donor mata besar kemungkinan tak akan ditindaklanjuti.
“Tetapi bila isu Ahmadiyah sedang surut, tidak ada masalah dan semua aktivitas sosial Ahmadiyah berlangsung lancar,” imbuhnya.
Namun, tambahnya, penolakan tak menurunkan keinginan atau tekad para Ahmadi untuk tetap mengajukan diri sebagai calon pendonor mata.
Paling aktif
Yendra termasuk calon pendonor mata. Baginya tak ada yang spesial karena donor mata sama dengan donor darah.
Donor darah yang dilakukan jemaat Ahmadiyah sudah 100 persen, karena ada perintah organisasi, terkait ketataan.
Sedangkan, donor mata adalah “sedekah” yang mirip anjuran kepada para pengikutnya.
“Tentu semua tetap sesuai persyaratan, seperti faktor usia, kesehatan dan terutama izin dari ahli waris,” terang Yendra.
Karena keaktifan dan komitmen jadi pendonor mata Ahmadi begitu kuat, pada 22 Juli 2017, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) menganugerah penghargaan kepada JAI sebagai komunitas dengan pendonor kornea mata terbanyak.
Saat itu, tercatat 6.800 calon pendonor JAI dan 258 orang telah melakukan donor mata.
“Saat ini calon pendonor mata ada 15.000 orang, sementara yang sudah merealisasikan atau berdonor 535 orang,” jelas Yendra, seraya berharap jumlah itu akan bertambah.
“Seandainya semua anggota kami sudah menjadi calon pendonor mata, masih jauh dari jumlah orang yang membutuhkan donor mata.”
Menurut data Bank Mata Indonesia, saat ini jumlah tuna netra di Indonesia mencapai 3,75 juta orang.
Sedangkan, jumlah calon penerima donor mata hingga tahun 2017 mencapai 170 ribu orang dengan daftar tunggu 50 orang setiap bulan.
SKB tiga menteri
Tidak mudah menjadi anggota Ahmadiyah setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan dua fatwa sesat pada 1980 dan 1995. Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tahun 2008 semakin memperburuk keadaan.
Andreas Harsono, seorang peneliti Human Rights Watch (HRW), menilai diskriminasi atas jemaah Ahmadiyah yang sudah buruk sejak fatwa sesat MUI semakin memburuk setelah SKB 3 menteri keluar.
Puncaknya ialah saat terjadi kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 6 Februari 2011 yang menyebabkan tiga anggota JAI tewas.
“Secara langsung memang tak ada diskriminasi dalam kesehatan, tapi mereka mendapat diskriminasi secara kewarganegaraan,” ujar Andreas kepada BeritaBenar.
Menurutnya, ketika seorang Ahmadiyah mendapat diskriminasi kewarganegaraan, hal itu sering kali berimbas pada sektor lain seperti pelayanan pembuatan KTP, pelayanan sipil, pelayanan pendidikan dan sebagainya.
Di kartu identitas jemaah Ahmadiyah tertulis Islam, seperti Yendra.
Seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga, Iskandar Zulkarnaen yang telah lama meneliti Ahmadiyah, baik asal-usulnya maupun komunitas mereka di Indonesia melihat bahwa ketika fatwa sesat MUI disusul SKB tiga menteri, stigma negatif terhadap Ahmadiyah makin kuat.
“Yang berkembang di masyarakat, Ahmadiyah adalah bagian dari penodaan agama,” ujarnya.
Menanggapi berbagai diskriminasi dan persekusi, Yendra mengatakan mereka memiliki prinsip cinta kasih untuk semua, kebencian bukan untuk siapapun.
“Kita tidak akan balas dengan keburukan, kita tetap berusaha memberikan manfaat untuk semua orang,” tuturnya.
Stigma negatif
Meski tahu lika-liku Ahmadiyah dan segala stigma negatif, Sukiman – penyandang tuna netra sekaligus Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Solo – mengaku akan menerima dengan senang hati jika menjadi penerima donor mata meski pendonornya adalah seorang Ahmadiyah.
Menurutnya, latar belakang keyakinan, aliran, keturunan ataupun kewarganegaraan sudah tidak penting lagi.
“Mencocokkan mata sudah sulit, ketika nanti akhirnya ada yang cocok, siapapun pemilik mata itu, siapapun pendonornya, saya terima,” ujar Sukiman yang mengalami kebutaan karena penyakit yang dideritanya semasa kecil.
Sumartono Hadinoto, pengurus Bank Mata Indonesia yang bertugas sebagai Ketua Bank Mata Indonesia di Solo mengaku data pendonor hampir tidak pernah dipermasalahkan karena penerima donor mata tidak pernah bertanya.
“Data-data yang terekam adalah data lama karena pendonor sudah mendaftar sejak dia masih hidup. Selain itu ada juga donor mata dari luar negeri, jika data-data ditanyakan, pasti sulit sekali memverifikasinya,” jelasnya.